| 
Pembicaraan tentang sejarah 
memang cukup menarik bagi banyak orang. Bahkan, sementara ahli memberi 
pernyataan bahwa manusia tidak mungkin dapat meninggalkan sejarahnya. 
Mudah dipahami bahwa pernyataan itu pada intinya mengandung makna bahwa 
sejarah atau perjalanan hidup pada masa lampau sekelompok manusia 
beserta wilayah yang dihuninya adalah sangat penting. Sifat pentingnya 
itu bukan semata-mata karena sejarah telah mampu mengantar kelompok 
manusia itu sampai ke kehidupannya pada masa kini serta memungkinkan 
mereka dapat meneruskan perjalanannya ke masa-masa mendatang, tetapi 
lebih dari itu. Sejarah juga mampu menjadikan kelompok manusia yang 
bersangkutan memiliki cita-cita mengenai kualitas kehidupan dan dirinya 
yang ingin dicapai atau diwujudkannya. Sudah tentu dengan syarat, 
kelompok sosial tersebut harus bijak lestari dalam mengambil hikmah dari
 perjalanan sejarah yang telah dilaluinya. Ingat pulalah ungkapan sangat
 bermakna  yang pernah terdengar, yang pada hakikatnya 
menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai 
sejarahnya. 
Sekali lagi ingin ditegaskan
 bahwa uraian ringkas yang telah dikemukakan di atas, kiranya sudah 
cukup memberikan pemahaman bahwa pemahaman tentang sejarah sekelompok 
manusia, suku bangsa, begitu pula suatu bangsa-termasuk wilayah yang 
dihuninya-adalah sangat perlu karena dapat memberikan makna yang tidak 
terukur besarnya bagi kelompok sosial atau bangsa yang bersangkutan. 
Namun, perlu pula dikemukakan di sini bahwa menyusun uraian sejarah yang
 representatif bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal yang dapat 
menjadi penghambatnya. Di antara hambatan yang banyak itu, adalah 
kurangnya data atau dokumen yang mampu memberikan bahan-bahan yang 
diperlukan untuk penyusunan sejarah, merupakan hambatan terbesar yang 
lazim dihadapi oleh penyusun sejarah. 
Hal yang dikatakan di atas ini berlaku pula 
dalam upaya penyusunan sejarah Bali, terutama Sejarah Bali Kuno. 
Berkaitan erat dengan keadaan tersebut, maka perlu ditekankan di sini 
bahwa gambaran ringkas tentang Sejarah Bali Kuno yang disajikan berikut 
ini, memang betul-betul ringkas, bahkan pada beberapa bagiannya masih 
memiliki masalah yang belum terpecahkan sebagai akibat kurangnya data 
yang diperlukan. Kendati demikian, dalam kaitan dengan masalah pokok 
yang ingin diungkap dalam kitab ini, uraian ringkas tentang Sejarah Bali
 Kuno tersebut, tetap diharapkan mampu memberikan pemahaman yang berguna
 bagi pembacaannya. Mereka yang ingin mendapat sajian uraian Sejarah 
Bali Kuno yang lebih lengkap, sudah tentu wajib mencarinya pada sumber 
lain.  
  
Tonggak awal rentangan masa 
Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka periode sebelum tahun 
800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno. Gambaran umum periode 
tersebut diharapkan dapat menjadi landasan pemicaraan mengenai masa Bali
 Kuno, sehingga terwujud uraian lebih utuh. Gambaran periode sebelum 
tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Bali dan berita-berita asing 
tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina. 
Babakan masa prasejarah Bali
 pada dasarnya sesuai dengan babakan masa prasejarah Indonesia secara 
keseluruhan. Babakan itu meliputi tingkat-tingkat kehidupan berburu dan 
mengumpulkan makanan (baik yang tingkat sederhana maupun tingkat 
lanjut), masa bercocok tanam, dan masa perundagian atau kemahiran 
teknik. 
Peninggalan-peninggalan
 masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di 
desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur. 
Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat 
genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 34-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap 
kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan 
tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding, 
Gua Karang Boma I, Gua Karang Boma II yang terletak di 
perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung). Bukti-bukti itu
 antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, serta 
sisa-sisa makanan, yakni kulit-kulit kerang dan siput laut, serta gigi 
babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang serupa 
ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31). 
Pada masa bercocok tanam, 
jumlah penduduk Bali telah bertambah dan persebarannya semakin meluas. 
Peninggalan benda-benda budaya mereka ditemukan di Palasari, Pulukan, 
Kediri, Kerambitan, Bantiran. Kesiman, Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung,
 Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Kabupaten Buleleng. 
Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan perkakas yang 
digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu persegi empat 
panjang. Artefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan lepas, dalam 
arti, bukan merupakan hasil ekskavasi yang sistematik (Sutaba, 1980 : 19
 ; cf. Suastika, 1985 : 30-33). 
Masa perundagian merupakan 
babakan terakhir dari masa prasejarah. Benda-benda temuan dari masa ini 
antara lain berupa nekara (di Pejeng, bebitra, dan Peguyangan), tajak, 
gelang kaki dan tangan, cincin, anting-anting, ikat pinggang, dan 
pelindung jari tangan (Sutaba, 1980 : 23-25). Peninggalan-peninggalan 
lain yang berasal dari masa ini adalah cetakan nekara dari batu di desa 
Manuaba dan sejumlah sarkofagus yang ditemukan di desa Nongan, Bajing, 
Bedulu, Mas, Tegallalang, Plaga, Ambyarsari, Poh Asem, Tigawasa, dan 
Cacang (Sutaba, 1980 : 25-26). 
Telah diketahui bahwa sarkofagus adalah salah 
satu sarana atau wadah penguburan. Wadah penguburan yang lain ada pula 
berupa tempayan. Tradisi penguburan dengan sarkofagus dan tempayan 
muncul bersamaan dengan tradisi megalitik di Indonesia, termasuk di 
Bali. Penguburan dengan tempayan adalah cara penguburan sekunder, yakni 
penguburan yang dilakukan setelah mayat lebih dahulu dikuburkan di 
tempat lain (penguburan primer). Dapat ditambahkan bahwa di situs 
prasejarah Gilimanuk ditemukan pula cara penguburan sekunder tanpa 
menggunakan wadah. Di situ, pada saat penguburan primer, mayat orang 
dewasa dan kanak-kanak dikubur dengan posisi membujur atau terlipat. 
Kemudian, tulang-tulangnya yang tertentu dikumpulkan untuk dikubur 
kembali di dalam tanah (penguburan sekunder) tanpa menggunakan wadah 
(Soejono, 1977 : 191-192, 223-227). 
Sarkofagus dan peninggalan-peninggalan lain yang
 berasal dari tradisi megalitik kian hari semakin banyak ditemukan. 
Peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa bangunan suci yang 
terdiri atas susunan batu, menhir, teras berundak (di Selulung, 
Batukaang, Tenganan Pegringsingan, Sembiran, dan Trunyan), tahta batu, 
arca menhir, lesung batu, palung batu, dan batu dakon (di Gelgel), serta
 arca-arca sederhana yang melambangkan nenek moyang ditemukan di Poh 
Asem, Depaa, dan Pura Besakih di dea Keramas (Covarrubias, 1972 : 26 ; 
167-168 ; Sutaba, 1980b : 30 ; 1982 : 107-108 ; 1995 : 88-93 ; 
Mahaviranata, 1982 : 119-127 ; Oka, 1985 : 118-129). 
Kemampuan menghasilkan 
benda-benda budaya yang telah disebutkan tidak dapat dilepaskan dari 
perkembangan aspek-aspek sosial ekonomi, sosial budaya (termasuk 
religi), teknologi, dan sebagainya yang dicapai masyarakat prasejarah. 
Beberapa hal mengenai aspek-aspek itu dikemukakan berikut ini. 
Para ahli tampaknya sepakat 
menyatakan bahwa kehidupan bercocok tanam merupakan “tonggak sejarah” 
kemajuan peradaban umat manusia yang sangat penting. Di antara mereka, 
bahkan ada yang menyatakan bahwa perubahan ke tahap kehidupan itu 
merupakan revolusi pertama dan sangat besar dalam sejarah peradaban umat
 manusia. Menurut H.R. van Heekeren, nenek moyang pendukung kebudayaan 
ini di Indonesia, termasuk yang di Bali, sudah menyebar dari tanah 
daratan Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah kepulauan lebih kurang 
pada tahun 1500-1000 sebelum masehi, setelah menempuh perjalanan panjang
 melalui darat, sungai, dan laut (1955 : 40-42). 
Kehidupan bercocok tanam 
mendorong mereka bertempat tinggal tetap dan membangun perkampungan 
dengan organisasi yang semakin teratur. Mereka telah mengenal 
perdagangan, paling tidak dengan sistem tukar barang-barang in
 natura. Kehidupan religi mereka semakin berkembang. 
Pelaksanaan upacara-upacara berlandaskan konsep magis (sympathic
 magic) menjelang kegiatan berburu (Kosasih, 1985 : 159), 
merupakan  salah satu hal yang mengawali perkembangan 
kehidupan religi mereka. Mereka juga telah meyakini adanya “kehidupan” 
setelah kematian, dalam arti, mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang 
mempunyai kemampuan mengatur, melindungi, dan memberkahi orang-orang 
yang masih hidup, atau sebaliknya menghukum keturunannya jika ternyata 
berbuat salah. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan perlakuan 
masyarakat terhadap jasad orang yang meninggal atau upacara-upacara 
penguburan yang diselenggarakan. 
 |