Pembicaraan tentang sejarah
memang cukup menarik bagi banyak orang. Bahkan, sementara ahli memberi
pernyataan bahwa manusia tidak mungkin dapat meninggalkan sejarahnya.
Mudah dipahami bahwa pernyataan itu pada intinya mengandung makna bahwa
sejarah atau perjalanan hidup pada masa lampau sekelompok manusia
beserta wilayah yang dihuninya adalah sangat penting. Sifat pentingnya
itu bukan semata-mata karena sejarah telah mampu mengantar kelompok
manusia itu sampai ke kehidupannya pada masa kini serta memungkinkan
mereka dapat meneruskan perjalanannya ke masa-masa mendatang, tetapi
lebih dari itu. Sejarah juga mampu menjadikan kelompok manusia yang
bersangkutan memiliki cita-cita mengenai kualitas kehidupan dan dirinya
yang ingin dicapai atau diwujudkannya. Sudah tentu dengan syarat,
kelompok sosial tersebut harus bijak lestari dalam mengambil hikmah dari
perjalanan sejarah yang telah dilaluinya. Ingat pulalah ungkapan sangat
bermakna yang pernah terdengar, yang pada hakikatnya
menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai
sejarahnya.
Sekali lagi ingin ditegaskan
bahwa uraian ringkas yang telah dikemukakan di atas, kiranya sudah
cukup memberikan pemahaman bahwa pemahaman tentang sejarah sekelompok
manusia, suku bangsa, begitu pula suatu bangsa-termasuk wilayah yang
dihuninya-adalah sangat perlu karena dapat memberikan makna yang tidak
terukur besarnya bagi kelompok sosial atau bangsa yang bersangkutan.
Namun, perlu pula dikemukakan di sini bahwa menyusun uraian sejarah yang
representatif bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal yang dapat
menjadi penghambatnya. Di antara hambatan yang banyak itu, adalah
kurangnya data atau dokumen yang mampu memberikan bahan-bahan yang
diperlukan untuk penyusunan sejarah, merupakan hambatan terbesar yang
lazim dihadapi oleh penyusun sejarah.
Hal yang dikatakan di atas ini berlaku pula
dalam upaya penyusunan sejarah Bali, terutama Sejarah Bali Kuno.
Berkaitan erat dengan keadaan tersebut, maka perlu ditekankan di sini
bahwa gambaran ringkas tentang Sejarah Bali Kuno yang disajikan berikut
ini, memang betul-betul ringkas, bahkan pada beberapa bagiannya masih
memiliki masalah yang belum terpecahkan sebagai akibat kurangnya data
yang diperlukan. Kendati demikian, dalam kaitan dengan masalah pokok
yang ingin diungkap dalam kitab ini, uraian ringkas tentang Sejarah Bali
Kuno tersebut, tetap diharapkan mampu memberikan pemahaman yang berguna
bagi pembacaannya. Mereka yang ingin mendapat sajian uraian Sejarah
Bali Kuno yang lebih lengkap, sudah tentu wajib mencarinya pada sumber
lain.
Tonggak awal rentangan masa
Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka periode sebelum tahun
800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno. Gambaran umum periode
tersebut diharapkan dapat menjadi landasan pemicaraan mengenai masa Bali
Kuno, sehingga terwujud uraian lebih utuh. Gambaran periode sebelum
tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Bali dan berita-berita asing
tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina.
Babakan masa prasejarah Bali
pada dasarnya sesuai dengan babakan masa prasejarah Indonesia secara
keseluruhan. Babakan itu meliputi tingkat-tingkat kehidupan berburu dan
mengumpulkan makanan (baik yang tingkat sederhana maupun tingkat
lanjut), masa bercocok tanam, dan masa perundagian atau kemahiran
teknik.
Peninggalan-peninggalan
masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di
desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur.
Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat
genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 34-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap
kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding,
Gua Karang Boma I, Gua Karang Boma II yang terletak di
perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung). Bukti-bukti itu
antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, serta
sisa-sisa makanan, yakni kulit-kulit kerang dan siput laut, serta gigi
babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang serupa
ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31).
Pada masa bercocok tanam,
jumlah penduduk Bali telah bertambah dan persebarannya semakin meluas.
Peninggalan benda-benda budaya mereka ditemukan di Palasari, Pulukan,
Kediri, Kerambitan, Bantiran. Kesiman, Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung,
Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Kabupaten Buleleng.
Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan perkakas yang
digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu persegi empat
panjang. Artefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan lepas, dalam
arti, bukan merupakan hasil ekskavasi yang sistematik (Sutaba, 1980 : 19
; cf. Suastika, 1985 : 30-33).
Masa perundagian merupakan
babakan terakhir dari masa prasejarah. Benda-benda temuan dari masa ini
antara lain berupa nekara (di Pejeng, bebitra, dan Peguyangan), tajak,
gelang kaki dan tangan, cincin, anting-anting, ikat pinggang, dan
pelindung jari tangan (Sutaba, 1980 : 23-25). Peninggalan-peninggalan
lain yang berasal dari masa ini adalah cetakan nekara dari batu di desa
Manuaba dan sejumlah sarkofagus yang ditemukan di desa Nongan, Bajing,
Bedulu, Mas, Tegallalang, Plaga, Ambyarsari, Poh Asem, Tigawasa, dan
Cacang (Sutaba, 1980 : 25-26).
Telah diketahui bahwa sarkofagus adalah salah
satu sarana atau wadah penguburan. Wadah penguburan yang lain ada pula
berupa tempayan. Tradisi penguburan dengan sarkofagus dan tempayan
muncul bersamaan dengan tradisi megalitik di Indonesia, termasuk di
Bali. Penguburan dengan tempayan adalah cara penguburan sekunder, yakni
penguburan yang dilakukan setelah mayat lebih dahulu dikuburkan di
tempat lain (penguburan primer). Dapat ditambahkan bahwa di situs
prasejarah Gilimanuk ditemukan pula cara penguburan sekunder tanpa
menggunakan wadah. Di situ, pada saat penguburan primer, mayat orang
dewasa dan kanak-kanak dikubur dengan posisi membujur atau terlipat.
Kemudian, tulang-tulangnya yang tertentu dikumpulkan untuk dikubur
kembali di dalam tanah (penguburan sekunder) tanpa menggunakan wadah
(Soejono, 1977 : 191-192, 223-227).
Sarkofagus dan peninggalan-peninggalan lain yang
berasal dari tradisi megalitik kian hari semakin banyak ditemukan.
Peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa bangunan suci yang
terdiri atas susunan batu, menhir, teras berundak (di Selulung,
Batukaang, Tenganan Pegringsingan, Sembiran, dan Trunyan), tahta batu,
arca menhir, lesung batu, palung batu, dan batu dakon (di Gelgel), serta
arca-arca sederhana yang melambangkan nenek moyang ditemukan di Poh
Asem, Depaa, dan Pura Besakih di dea Keramas (Covarrubias, 1972 : 26 ;
167-168 ; Sutaba, 1980b : 30 ; 1982 : 107-108 ; 1995 : 88-93 ;
Mahaviranata, 1982 : 119-127 ; Oka, 1985 : 118-129).
Kemampuan menghasilkan
benda-benda budaya yang telah disebutkan tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan aspek-aspek sosial ekonomi, sosial budaya (termasuk
religi), teknologi, dan sebagainya yang dicapai masyarakat prasejarah.
Beberapa hal mengenai aspek-aspek itu dikemukakan berikut ini.
Para ahli tampaknya sepakat
menyatakan bahwa kehidupan bercocok tanam merupakan “tonggak sejarah”
kemajuan peradaban umat manusia yang sangat penting. Di antara mereka,
bahkan ada yang menyatakan bahwa perubahan ke tahap kehidupan itu
merupakan revolusi pertama dan sangat besar dalam sejarah peradaban umat
manusia. Menurut H.R. van Heekeren, nenek moyang pendukung kebudayaan
ini di Indonesia, termasuk yang di Bali, sudah menyebar dari tanah
daratan Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah kepulauan lebih kurang
pada tahun 1500-1000 sebelum masehi, setelah menempuh perjalanan panjang
melalui darat, sungai, dan laut (1955 : 40-42).
Kehidupan bercocok tanam
mendorong mereka bertempat tinggal tetap dan membangun perkampungan
dengan organisasi yang semakin teratur. Mereka telah mengenal
perdagangan, paling tidak dengan sistem tukar barang-barang in
natura. Kehidupan religi mereka semakin berkembang.
Pelaksanaan upacara-upacara berlandaskan konsep magis (sympathic
magic) menjelang kegiatan berburu (Kosasih, 1985 : 159),
merupakan salah satu hal yang mengawali perkembangan
kehidupan religi mereka. Mereka juga telah meyakini adanya “kehidupan”
setelah kematian, dalam arti, mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang
mempunyai kemampuan mengatur, melindungi, dan memberkahi orang-orang
yang masih hidup, atau sebaliknya menghukum keturunannya jika ternyata
berbuat salah. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan perlakuan
masyarakat terhadap jasad orang yang meninggal atau upacara-upacara
penguburan yang diselenggarakan.
Kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupan yang
dicapai pada masa bercocok tanam berkembang semakin subur dan cepat pada
masa perundagian, yakni yang merupakan tahap akhir masa prasejarah dan
sekaligus merupakan saat-saat penjelang masa sejarah Bali. Dalam bidang
teknologi, penduduk Bali pada waktu itu telah mampu melakukan
peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam dalam rangka pembuatan
suatu benda, serta menghiasi benda-benda ciptaannya dengan
motif-motif tertentu. Kemampuan-kemampuan itu menunjukkan betapa
tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology)
yang telah dicapai. Hal itu dikatakan demikian, karena
semua pekerjaan tersebut memerlukan panas dengan temperatur yang sangat
tinggi.
Jumlah
penduduk yang semakin bertambah memungkinkan desa-desa tumbuh semakin
banyak dan berkembang semakin pesat. Kehidupan bergotong royong kian
diperlukan, diversifikasi dalam pelbagai aspek kehidupan, baik yang
berkenaan dengan mata pencaharian hidup maupun tugas dan fungsi
seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, kian berkembang pula.
Kelompok-kelompok sosial dengan keterampilan tertentu, misalnya yang
terampil dalam bidang arsitektur, seni pahat, seni tabuh, dan seni tari,
semakin dibutuhkan oleh masyarakat dan serta merta mempercepat
terwujudnya masyarakat yang heterogen. Lebih jauh, mudah dipahami bahwa
dalam masyarakat heterogen yang telah digambarkan terdapat pelbagai
kepentingan pihak-pihak tertentu yang perlu dikoordinasikan agar
tercapai tujuan hidup bermasyarakat secara optimal. Keadaan ini menuntut
kehadiran pemimpin atau pemimpin-pemimpin yang berwibawa. Dengan kata
lain, tokoh pemimpin, yang mungkin pada mulanya sebagai primus
inter pares, menjadi semakin penting. Hal itu sekaligus
mencerminkan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mengenal stratifikasi
sosial, walaupun dalam wujud yang masih bersifat embrio. Keberadaan hal
itu, selain dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari adanya
pemimpin tertinggi dan kepala masing-masing kelompok sosial, sistem
penguburan juga memberikan petunjuk yang sangat berarti. Tampaknya,
hanya orang-orang yang semasa hidupnya menempati kedudukan terhormat
saja dikubur dalam sarkofagus atau tempayan. Sebaliknya, mayat orang
kebanyakan dikubur secara biasa dalam tanah.
Hal lain yang perlu
dikemukakan ialah masalah religi. Pelbagai peninggalan tradisi
megalitik, misalnya tahta batu, dolmen, menhir, arca yang bercorak
megalitik, dan hiasan kedok muka pada beberapa sarkofagus mencerminkan
bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju. Pemujaan terhadap
arwah leluhur yang bersemayam di puncak-puncak gunung atau tempat-tempat
suci lain dan kekuatan-kekuatan alam tertentu yang diyakini dapat
mempengaruhi kehidupan mereka berkembang semakin subur, Bahkan, dapat
dikatakan bahwa sebagian besar dari benda-benda peninggalan tradisi
megalitik itu sampai dewasa ini masih disucikan dan digunakan sebagai
media memohon kesejahteraan masyarakat (Sutaba, 1995 : 88).
Hal yang menarik perhatian
pula ialah sejumlah tahta batu diberikan nama khas Bali, misalnya Pelinggih
Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, Jero Nongan, Pesimpangan Batu
Belig, dan Pesimpangan Tamba Waras
(Kusumawati, 1989 : 107-222 ; Sutaba, 1995 : 101-102). Lebih jauh
mengenai kekhasan Bali, R.P. Soejono menunjuk pola hias kedok muka pada
beberapa sarkofagus serta sistem kubur sekunder dengan tata letak
bagian-bagian rangka yang sangat teratur dan betul-betul tidak ada
persamaannya di tempat lain. Dikatakannya bahwa hiasan kedok muka itu,
selain berfungsi dekoratif, juga melambangkan kekuatan gaib yang
berfungsi melindungi roh orang yang meninggal dari gangguan roh-roh
jahat (1977 : 30-169 ; 246-270 ; 1993 : 7). Selain itu, beliau juga
terkesan dengan pahatan yang menggambarkan alat vital wanita dan kerbau
pada sarkofagus yang ditemukan di Ambiarsari dan Munduk Tumpeng. Dalam
kaitan dengan pahatan-pahatan tersebut, khususnya yang terdapat pada
sarkofagus di Munduk Tumpeng, beliau menyatakan bahwa hal itu memperkuat
pemahaman mengenai fungsi sarkofagus tipe itu, yakni untuk menopang
pencapaian tujuan hidup setelah seseorang lepas dari lingkaran kelahiran
kembali (rebirth). Roh orang itu akan
diangkut oleh kerbau yang berfungsi sebagai kendaraan bagi roh orang
yang meninggal agar sampai di alam arwah dengan selamat dan cepat.
Dengan kata lain, sarkofagus Munduk Tumpeng memiliki makna ganda, yakni
kelahiran kembali dan kehadiran dengan selamat di alam para leluhur
(19... : 183).
Mudah
dipahampi bahwa sejalan dengan perkembangan atau kemajuan dalam bidang
religi akan muncul pula tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan khusus
dalam bidang spiritual, misalnya para pemimpin upacara-upacara
magis-religius. Kedudukan mereka terhormat dan peranannya sangat besar.
Kedudukan dan peranannya seperti itu menyebabkan mereka menjadi
tokoh-tokoh yang amat disegani oleh masyarakat (cf.
Bertling, 1974 : 11-15).
Gambaran di atas diharapkan dapat memberikan
pemahaman bahwa manusia Bali pada akhir masa perundagian, atau menjelang
masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial ekonomi, sosial
budaya, religi, teknologi, dan sebagainya yang relatif maju dan
kompleks. Dengan bekal itulah, mereka menyongsong kehadiran pengaruh
budaya-budaya asing berikutnya, yang sebagaimana akan diketahui, dengan
arus terkuat berasal dari daratan India.
Keterangan-keterangan
tentang Bali yang terdapat dalam sumber-sumber Cina perlu dikemukakan
pula di sini. Nama-nama dalam kitab Cina, yang oleh sementara orang
pernah diidentifikasikan sebagai Bali, adalah P’o-li,
Dva-pa-tan, dan Mali.
Toponim P’o-li dikenal sejak pemerintahan
dinasti Liang (502-556). P’o-li dikatakan
terletak di sebuah pulau di sebelah tenggara Kanton Groeneveldt, 1960 :
80). Nama P’o-li juga terbaca dalam kitab
sejarah dinasti Sui 9581-617). Di sana disebutkan bahwa jika seseorang
berlayar dari Gau-chi (Annam Utara) ke arah
selatan, maka akan sampai di Chih-tu, kemudian
di Tan-tan, dan akhirnya di P’o-li
(Groeneveldt, 1960 : 82), Keterangan seperti itu terbaca pula dalam
kitab sejarah baru dinasti T’ang (618-908),
dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P’o-li
terletak Lu-cha dengan adat-istiadat sama
dengan P’o-li (Groenveldt, 1960 : 83-84 ;
Slametmulyana, 1981 : 126).
Informasi tentang P’o-li
yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di atas
terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang
(618-908). Penulis kitab itu mencatat bahwa P’o-li
merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling.
Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling)
dikatakan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di
sebelah timur Ho-ling terletak P’o-li,
di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara
Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan
adalah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf.
Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Sesungguhnya, identifikasi P’o-li
dengan Bali sangat diragukan, bahkan tidak disetujui oleh kebanyakan
ahli. Identifikasi P’o-li dengan Bali pernah
dikemukakan oleh P. Pelliot. Akan tetapi, ditambahkannya pula bahwa P’o-li
mungkin identik dengan Kalimantan. Pendapat yang menyatakan bahwa P’o-li
terletak di Kalimantan, atau sama dengan Kalimantan, dikemukakan juga
oleh E. Bretschneider dan Dato Sir Roland Braddel (Sumadio, dkk., 1990 :
281).
Ahli-ahli
sebagian besar mengemukakan bahwa P’o-li
terletak di wilayah Sumatra. Menurut G. Schlegel, P’o-li identik
dengan Asahan di pantai timur laut Sumatra Utara, dan menurut W.P.
Groeneveldt, P’o-li berada di pantai utara
Sumatra. Hsu Yu-ts’iao mengindentifikasi
negeri P’o-li dengan Pantai di pantai timur
laut Sumatra dan V. Obdeyn menyatakan P’o-li
terletak di pulau Bangka. Menurut J.L. Moens, P’o-li
pada aad VI sama dengan Palembang, Sedangkan P’o-li
pada abad VII adalah untuk menyatakan sebuah kerajaan yang terletak di
Jawa. Dapat ditambahkan bahwa menurut G.E. Gerini, P’o-li
terletak di pantai barat Semenanjung Malaya (Sumadio, dkk., 1990 :
281).
Pendapat-pendapat
yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li
merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang
luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang di dapat dari kitab
sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li
dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari
utara ke selatan selama 45 hari perjalanan (Groeneveldt, 1960 : 82).
Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan
besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok
diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt,
adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab
sejarah kuno dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah
selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling
(Ka-ling). Adat istiadatnya sama dengan
Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi
sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada
orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan
sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum
(Groeneveldt, 1960 : 12-58). Di dalam kitab Chu-fan-chih
bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali.
Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue
mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat
diidentifikasikan dengan Pali atau Mali
(Sumadio, dkk., 1990 : 282).
Dokumen
tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng, ialah
prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat
yang semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stupa-stupa kecil) dari
tanah liat. Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang
terkenal dengan nama ye-te-mantra.
Prasasti-prasasti sejenis ini ditemukan juga di Pura Pegulingan
Basangambu, Tampaksiring dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya
sebagai berikut.
“Ye dharmā
hetu-prabhawā
Hetun tesān
tathāgato hyawadat
Tesāñca
yo nirodha
Ewamwādi
mahāśramanah” (Goris, 1948 : 3).
Artinya :
“Keadaan
tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh Tathagata
(Buddha), Tuan mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus
diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”
Mantra sejenis itu tertulis
pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah) yang berasal dari abad
VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan kesamaan tipe aksara
mantra-mantra di kedua tempat itu, maka mantra-mantra agama Buddha di
Pejeng diduga berasal dari abad VIII pula (Goris, 1949 : 3-4 ; cf.
Budiastra, 1980/1981 : 36-38).
Di desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen
prasasti berbahasa Sansekerta dengan huruf Bali Kuno. Keadaannya sudah
sangat tua. Di antara bagian-bagian yang masih terbaca
antara lain manuśasana... (pada fragmen d),
...mantramārgga... (pada fragmen g), ...śiwas
(...) ddh ... (pada fragmen h),
yang secara lengkap kiranya berbunyi ... śiwasiddhanta
..., dan ...sakalabhuwanakrt ... (pada
fragmen k), yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu memberi
petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan,
dalam hal ini agama Hindu sekte Śiwa ; bahkan agama itu rupanya telah
bersifat mantris atau tanris
(Stutterheim, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang
berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara
huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di
Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara
fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka,
atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheiom, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di
atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melakukan studi
komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf
prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan
bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari masa sebelum
tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheim, 1929 : 59).
Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah Pejeng (Gianyar) pada
waktu itu, agama Buddha dan agama Hindu sekte Siwa telah mempunyai
pemeluk masing-masing, yang hidup saling menghormati dengan penuh
toleransi.
Rentangan waktu tahun itu
disebut pula periode Singhamandawa, karena hampir seluruh prasasti dari
periode itu dikeluarkan di Panglapuan (panglapwan)
di Singhamandawa. Pada bagian awal periode tersebut, yaitu tahun
882-914, terbit tujuh buah prasasti berbahasa Bali kuno, yakni prasasti
Sukawana AI (804 Saka), Bebetin AI (818
Saka), Trunyan AI (833 Saka), Trunyan
B (833 Saka), Bangli, Pura Kehen A, Gobleg,
Pura Desa I (836 Saka), dan Angsri A.
Ketujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang
mengeluarkannya (Goris, 1954a : 53-62).
Prasasti pertama pada
intinya berisi tentang pengembalian fungsi kesucian ulan
(semacam bangunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di bukit Citamani
(sekarang Kintamani). Tampaknya, ulan itu
sempat digunakan sebagai tempat lalu-lalang bagi orang-orang yang pulang
pergi ke kebun atau sawah ladangnya. Kebijakan yang ditempuh penguasa
ialah menyuruh Senapati danda, bhiksu Siwakangsita,
Siwanirmala, dan Siwaparjna
membangun pertapaan yang dilengkapi pasanggrahan (satra)
di bagian lain bukit Cintamani. Selanjutnya,
orang-orang yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi menggunakan
jalan setapak yang melewati kompleks ulan
melainkan melalui jalan di kompleks pertapaan. Batas-batas wilayah
pertapaan ditetapkan. Prasasti ini juga memuat ketetapan pembebasan para
bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu,
serta aturan pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat
diketahui bahwa di bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat
jabatan tinggi kerajaan, yaitu sarbwa, dinganga, nayakan,
makarun, dan manuratang ajna.
Jabatan-jabatan ini tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni
ketika prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan
di Singhamandawa (882-942). Setelah itu, jabatan-jabatan
tinggi kerajaan rupanya semakin meningkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin
AI berkenaan dengan desa (banwa)
bharu, atau secara lebih lengkap kuta
di banwa bharu, yang bermakna desa bharu
yang berbenteng. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa pada suatu ketika
desa itu diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati
terbunuh atau terluka dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa
tetangga. Setelah keadaan aman, merekapun kembali ke desa bharu.
Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang spiritual, raja menyuruh
pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra
dan bhiksu Widya Ruwana untuk memimpin
pembangunan kuil Hyang Api, dengan batas-batas
wilayah yang telah ditentukan. Prasasti ini memuat pula aturan-aturan
pembagian harta warisan dan ketetapan mengenai tugas atau kewajiban
serta hak-hak penduduk yang berdiam di sana.
Desa bharu
rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali, dan
merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan terakhir
ini didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar
dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu yang mengalami
kerusakan termuat dalam prasasti itu. Bagian teks prasasti
Bebetin AI mengenai hal itu, sebagaimana terbaca pada
lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”... anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca
: paneken) di hyangapi, parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan
drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan papagerrangen kuta ...”
(Goris, 1954a : 55).
Artinya :
”...Jika
ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya
supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api,
(jika) ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya agar
dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk
memperkuat benteng, ...”
Isi kedua prasasti
berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan Trunyan
B, khususnya pada lembaran Ib-IIa.4, pada
dasarnya sama. Keduanya mengenai izin yang diberikan kepada penduduk
desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci
bagi Bhatara Da Tonta. Selanjutnya, penduduk
wajib membayar iuran dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu untuk
keperluan bangunan suci itu. Sebagai imbangannya, mereka dibebaskan
dari pajak-pajak serta kewajiban-kewajian tertentu yang lazim ditunaikan
bagi raja.
Pada
bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan
bahwa jika ada utusan raja melakukan persembahyangan di sana pada bulan Asuji,
utusan itu wajib diberikan makanan dan minuman. Prasasti itu
menyinggung pula upacara di kuil Guha Mangurug Jalalingga
serta kewajiban-kewajiban penduduk desa Hasar, Halang
Guras, Pungsu, dan Panumbahan
dalam kaitan dengan upacara-upacara di kuil Sang Hyang di
Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha
Mangurug Jalalingga.
Bagian lebih lanjut, prasasti
Trunyan B antara lain memuat perihal iuran yang wajib
dibayar oleh penduduk desa Air Rawang di
sebelah timur teluk Danau Batur untuk keperluan upacara Sang
Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula bahwa setiap
bulan Bhadrawada (Agustus-September), Bhatara
Da Tonta harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian
dibedaki kuning, serta dihiasi dengan cincin bepermata dan
anting-anting. Petugas yang berwenang melaksanakan hal-hal itu adalah Sahayan
Padang dari desa Air Rawang.
Pada bagian akhir prasasti Trunyan B terbaca
kalimat kutukan yang ringkas (Goris, 1954a : 58-59).
Prasasti Pura
Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang
udu) Hyang Karimama yang berada
di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu
tampaknya sempat kurang terurus. Dalam rangka memulihkan fungsinya, raja
menugasi bhiksu Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa
serta penduduk desa Simpat Bunut agar
melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan)
pertapaan di Hyang Karimama
itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu
yang berdiam di sana walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan
yang berlaku, juga tetap mendapat hak istimewa (previlise),
misalnya para bhiksu tidak boleh diwajibkan
ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan
dalam masalah-masalah jual beli, pemungutan pajak, dan pencelupan
benang. Dalam prasasti itu juga ditentukan bahwa pertapaan di Hyang
Karimama dibolehkan memiliki cabang di desa lain, asalkan
tidak lebih dari 20 buah (Goris, 1954a : 60-61).
Penguasa tertinggi pada
periode Singhamandawa memberikan perhatian sangat besar terhadap bidang
spiritual keagamaan. Hal itu dapat diketahui antara lain berdasarkan isi
kelima prasasti yang telah dibicarakan dan isi prasasti
Gobleg, Pura Desa I yang
berangka tahun 836 Saka. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa bangunan
suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura,
yang berada dalam wilayah desa Air Tabar,
agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan rencana. Raja menugasi
sejumlah tokoh untuk memimpin pelaksanaannya. Prasasti ini juga memuat
aturan pembagian harta warisan dan keringanan dari tugas-tugas tertentu
yang didapat oleh penduduk.
Prasasti Angsri A
keadaannya sangat aus. Dari bagian yang terbaca dapat diketahui antara
lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang
Tanda. Kedua bangunan suci itu mendapat persembahan
bagian harta warisan keluarga yang putus keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan hasil pembacaan
terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuno selanjutnya
dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih
yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada yang
memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan
tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya. Urutan
pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada lampiran 1
karya tulis ini dan uraian ringkas mengenai masa pemerintahan
masing-masing pucuk pemerintahan itu disajikan sebagai berikut.
Nama raja Bali Kuno yang
tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmadewa.
Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan
demikian, adalah prasasti Blanjong (835
Saka),dan prasasti Penempahan, dan
prasasti Malet Gede (835 Saka).
Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca
lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian
nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti Blanjong
adalah ... sri kesari ... sedangkan pada sisi
B.13 terbaca ... sri kesariwarmma (dewa)
(Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti
Penempahan yang masih terbaca adalah ... sri
ke ... dan pada prasasti Malet Gede berbunyi
... sri kaesari ... (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf.
Damais, 1959 : 964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari
Warmadewa merupakan raja pertama yang menggunakan unsur warmadewa
sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka
dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti (vamsakara)
Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan
diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak
awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal lain yang menarik
perhatian ialah ketiga prasasti tersebut pada hakikatnya menggambarkan
kemenangan raja Sri Kesari terhadap musuh-musuhnya. Sebagai akibat
prasasti-prasasti itu telah aus, hanya dua di antara musuh-musuh itu
dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal
(Goris, 1954a : 65). Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan
Suwal sampai dewasa ini belum diketahui
secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun
mungkin sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun
mungkin identik dengan Nusa Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf.
Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu
Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun
837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan
masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur (Goris, 1948 : 5). Ada
sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja
Ugrasena, yakni prasasti-prasasti Banjar Kayang
(837 Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung
(837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran
AI (844 Saka), Pengotan AI (846
Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa,
Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka), Serai AI
(858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI
(864 Saka), prasasti Tamblingan Pura Endek I
(-), dan Gobleg, Pura Batur A (Goris, 1954a :
8-11 ; 63-72).
Berdasarkan
prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting
dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut
ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan
dan Julah, karena desa itu belum pulih benar
dari kerusakan akibat diserang perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa
Kundungan dan Silihan
dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja
juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di
wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan
kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh
penduduk (Goris, 1954a : 63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek
kehidupan beragama, Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran
dan Parcanigayan untuk memperluas
pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang
terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan
sebagai jumpung Waisnawa ”sekte (?)
Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang
Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti
Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak
lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak
sepenuhnya dapat diketahui (Goris, 1954a : 68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada
tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti
Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja
Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan
(sekarang Bubunan) dan ke Songan .
Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha),
di Buwunan dan di Songan
melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika
saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah
pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga
Ugrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal
dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air
madatu (cf. Goris, 1954b
: 211). Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa
yang ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa
raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah
tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih
yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan epitet tersebut di
atas (Goris, 1954a : 76).
Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena
setelah mangkat, maka tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas
menunjukkan betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena. Lebih lanjut, hal
itu dapat digunakan sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa
walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan
bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong
anggota dinasti Warmadewa.
Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang
pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang
menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah Sang
Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan
permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka
(955-967) Mereka menggantikan raja Ugrasena.
Ada empat prasasti yang
memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti
Manik Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI
(877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani
A (899 Saka) 11. Keempat prasasti itu tidak lengkap. Tiga
yang pertama, selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan
dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat
Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut
yang berdiam di desa Pakuwwan dan Talun
(Goris, 1954a : 74-75). Mereka dibebaskan dari tugas
bergotong royong dan pelbagai pajak, kecuali pajak rot.
Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut
Goris berkaitan dengan prasasti Kintamani B,
telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja
Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani
pemnugaran pesanggarahan di Air Mih. Dalam Prasasti
Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa
merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih
(Goris, 1954a : 77).
Raja
berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari
sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882
Saka) (Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris 1954a : 75-76 ; Damais, 1955 :
224-225). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha
di (Air) Mpul (sekarang Tirtha
Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat
derasnya aliran air. Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang
ada menjadi kuat dan bertahan lama.
Hal
yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya
terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama
permaisurinya. Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan
bukti-bukti yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais
menegaskan bahwa pembacaan angka tahun 882 Saka sudah benar (Goris, 1965
: 180). Untuk sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah terbitnya
“prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai, dalam
arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta,
atau semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk
adanya perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah
berkuasa.
Pada tahun 897 Saka
muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar
ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897
Saka) (Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 77-79 ; Damais, 1955 :
226). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut
kembali mengenai desa Julah kuno. Menurut
prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari
pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Selanjutnya,
ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi.
Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil,
pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu
mengalami kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir
oleh penduduk desa Julah, Indrapura, Buwundalm,
dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta
diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah
lengkap dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa
ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta)
(Goris, 1954a : 78-79).
Raja
Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi
Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti
Gobleg, Pura Desa II (905 Saka) (Goris, 1954a : 79-80 ;
Damais, 1955 : 226-227). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air
Tabar, yang merupakan pamong kuil Indrapura
di Bukittunggal di wilayah desa Air
Tabar, untuk memperbaharui prasastinya (mabharin
pandaksayan na).
Ratu
ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa. Keadaan ini
mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri
Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30)
berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya
di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan
kekuasaan Sriwijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat
itu.
Pada tahun 1950, dalam
artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, J.L. Moens
menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950 : 138). Damais
secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok
yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.12 Pendapatnya itu
didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur,
dan pangkaja yang disebutkan dalam prasasti
ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di Bali.
Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa (1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada
tahun 911 Saka (989). Tampuk pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh
pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
Dalam prasasti Pucangan
dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni, yang semula bernama
Mahendradatta, adalah putri Sri Makutawangsawardhana, cucu perempuan
pasangan Sri Isana Tunggawijaya dan Sri Lokapala, atau cicit Pu Sindok.
Mahendradatta kemudian nikah dengannya adalah Udayana,
seorang pangeran yang lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur.
Dari pasangan itu lahirlah Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93).
Berdasarkan keterangan itu, dapat diketahui bahwa Mahendradatta adalah
seorang putri berasal dari Jawa Timur, keturunan dinasti Isana. Jika
dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti-prasasti Bali tahun 911-923
Saka yang menyatakan bahwa Sri Gunapriyadarmapatni memerintah
bersama-sama dengan suaminya, yaitu Sri Dharmadoyana Warmadewa, maka
dapat diketahui bahwa tokoh terakhir inilah yang dimaksud dengan Udayana
dalam prasasti Pucangan. Lebih lanjut, yang
dimaksud dengan dinasti termasyhur dalam prasasti itu adalah dinasti
Warmadewa. Kendati demikian, masih ada sejumlah pendapat mengenai
asal-usul Udayana.
Menurut
F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja.
Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan
sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan
melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian
menikah dengan Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 :
96-97). Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya
”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain
mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana
yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan
putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng
merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati
(selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur
dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana
II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan
sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan
bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan
Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua
kalinya dengan Udayana II (1950 : 124). Pada dasarnya, Goris menyetujui
pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau
menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991)
sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana
yang memerintah di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau
kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan,
Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari
dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud
dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa. Lagi pula, seperti
telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak
jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka
(914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya. Berdasarkan
kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu
menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah
sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa
seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima
dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti
Warmadewa. Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti
tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas
takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil.
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula
keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan
dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi
sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami
Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1956 : 119) yang dikemukakan
jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan
”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001).
Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911
Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan
A (916 Saka), Sading A (923
Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris,
1954a : 80-88).
Prasasti
Bebetin A berkenaan
dengan desa (banwa) Bharu.
Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti
Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan
sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan
suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban
kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada
penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).
Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII.
Isi prasasti Buwahan A
sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin
pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan
yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya,
yakni Kdisan. Desa Bwahan,
yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra
i kawakannya). Segala kewajiban supaya dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Dalam prasasti
Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran.
Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa
meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke
desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan
aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali
ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka
lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas
nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti
Batur, Pura Abang A (Goris, 1954a : 88-94 ; Damais, 1955 :
185). Rupanya Gunapriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum tahun 933
Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang
(sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka
wakil-wakil desa Air Hawang menghadap
raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba,
yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi
desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta
cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja
bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau
keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan
(baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang
Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita,
Dang Acarya Bhacandra dan Senapati
Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya
kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna
para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih
dari itu. Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja
menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks
prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :
“...tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna
kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning
malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, ...” (Goris,
1954a : 89).
Artinya
:
“... kemudian beliau
sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali,
diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni
dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, ...”
Selain prasasti-prasasti
yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short
inscription) yang terbit atau diduga terbit sebelum
Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura
Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem
(nomor lama 357) berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A
(933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit
B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka (Goris, 1954a :
46, 94, 105-107 ; Damais, 1955 : 229).
Prasasti
Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka
tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua
yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang
(929 Saka). Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa
pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat
menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni
sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calon
Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf.
Poerbatjaraka, 1926 : 115-145).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu
disebut Mpu Bradah? Mengenai hal ini, Goris
berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk
pertama kali.13 Kunjungan itu mungkin dalam
kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau
kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa
Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu
Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka
betul-betul mengenai urusan yang sangat penting (Goris,
1957 : 20). Setelah mangkat, Gunapriyadharmapatni dicandikan di Burwan,
dan Udayana yang diduga mangkat tidak lama setelah tahun 933 Saka
dicandikan di Banu Wka.
Mereka diganti oleh Ratu Sri
Ajnadewi yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII
pada tahun 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais, 1955 : 229-230).
Sampai kini belum terdapat petunjuk jelas mengenai hubungan ratu ini
dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain. Dalam
mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa
Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu
diketahui bahwa pada tahun 938 Saka (1016) kerajaan yang diperintah
Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wurawari sehingga
mengalami malapetaka mahahebat (pralaya).
Serangan itu bertepatan dengan saat diselenggarakan upacara pernikahan
Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh. Dikatakan lebih lanjut bahwa
Jawa pada waktu itu bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka gugur
dalam peristiwa tersebut. Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat
menyelamatkan diri dengan lari ke hutan diiringi pengikutnya yang sangat
setia, yaitu Narottama (Sumadio dkk., 1990 : 173).
Tahun pralaya
itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu Sri Sang Ajnadewi sebagai
pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan kenyataan ini, dapat
dikembangkan uraian hipotetik sebagai berikut. Mudah dipahami bahwa
ketika dilangsungkan upacara pernikahan Airlangga dengan putri
Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah Airlangga,
hadir di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam
peristiwa pralaya yang telah disebutkan, dan
hal itu sekaligus mengakibatkan taktha kerajaan Bali lowong secara
tiba-tiba. Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu Marakata,
kemungkinan masih terlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja. Pendapat
itu didasarkan atas pertimbangan bahwa jika Airlangga pada tahun 1016
baru berumur 16 tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setua-tuanya baru
berumur 15 tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.
Untuk memecahkan masalah
lowongnya takhta kerajaan Bali, keluarga istana rupanya sepakat
mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Ajnadewi. Perwalian itu
berlangsung sampai tidak lama sebelum Marakata mengeluarkan prasasti
yang pertama pada tahun 944 Saka (1022). Apakah wali itu berasal dari
Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali? Memang dapat dipahami, jika
wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga istana Jawa Timur,
namun kemungkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu dikatakan demikian
karena mudah pula dipahami bahwa kondisi kerajaan di Jawa Timur pada
waktu itu masih sangat lemah, situasinya masih sangat kacau, bahkan
mungkin masih dalam suasana berkabung. Jika dugaan itu benar, maka
kemungkinan lain yang dapat dikemukakan ialah Sri Sang Ajnadewi adalah
anggota dinasti yang sedang berkuasa di Bali. Mungkin bibi Marakata atau
tokoh lain yang memang pantas menduduki posisi sebagai wali.
Prasasti
Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu
kembali mengenai desa Julah. Dikatakan bahwa
desa ini diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati,
ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak
300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 kepala keluarga. Oleh karena itu,
sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam hal kerja gotong
royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji.
Kewajiban mereka dalam kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta
pun dikurangi pula (Goris, 1954a : 95). Dapat ditambahkan bahwa
secara harfiah drwyahaji berarti “milik
raja”(Zoetmulder, 1982a : 416). Akan tetapi, menurut konteksnya istilah
itu bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak, cukai, denda,
iuran, dan sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai
pengeluaran kerajaan.
Telah
dikatakan bahwa Marakata, gelar lengkapnya Paduka Haji Sri
Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa, mengeluarkan
prasastinya yang pertama yakni prasasti Batuan,
pada tahun 944 Saka. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu
ialah prasasti Sawan A I = Bila I (nomor lama
353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A
(945 Saka), dan Bwahan B (947 Saka)14.
Prasasti pertama diberikan
kepada penduduk desa Baturan (sekarang Batuan
di Kabupaten Gianyar). Wakil-wakil desa itu menghadap raja serta
menyampaikan bahwa semenjak masa pemerintahan raja almarhum yang
dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah
Udayana), penduduk desa Baturan ditugasi
memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di
desa Baturan. Raja Marakata memaklumi betapa
beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai imbalannya, penduduk pun
dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan diizinkan lepas dari desa Sukhawati
(sekarang Sukawati).
Isi
pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama
dengan isi pokok prasasti Batuan, yang
permohonan penduduk mengenai pengurangan beban drwyahaji
dan tugas bergotong royong. Permohonan itu diajukan wakil-wakil desa Bila
karena merasa cukup berat memenuhi kewajiban-kewajiban semula sebagai
akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50 kepala
keluarga menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh
raja Marakata. Prasasti Sawan A I juga memuat
ketetapan tentang pembagian harta warisan, perbuatan-perbuatan yang
tidak boleh dilakukan oleh pegawai kerajaan yang berkunjung ke desa Bila,
dan kewajiban penduduk bagi pegawai itu.
Prasasti
Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945
Saka, wakil-wakil desa Songan Tambahan
menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan
Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi
menyelenggarakan atau memelihara katyagan
(asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan.
Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan prasasti
yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supaya
segala sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan
pengabdian kepada raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada
raja yang tengah memerintah, maka mereka memohon kepada Raja Marakata
agar berkenaan menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pun memenuhi
permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya
tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna
sapurbwastitinya nguni) (Ginarsa, 1961 : 5).
Berdasarkan prasasti
Buwahan B (947 Saka) dapat
diketahui bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan
lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil
desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya,
yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa
raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan, agar Nayakan
Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak
mengganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.
Masih ada
sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja
Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945
Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian
Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi
IV dan Bangli, Pura Kehen B
(nomor semula 356) tanpa angka tahun.15 Oleh karena data
historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang berarti bagi
penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka pembicaraan
prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.
Dalam gelar Marakata yang
telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa
tetapi ada unsur dharmawangsa yang
mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Berdasarkan
kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti
Warmadewa? Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti
Tengkulak A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata
adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka
(yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa
Marakata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti
mengenai hal itu berbunyi :
“... mangkai pwan menget ikanag karaman i songan
tambahan sapanambahan, an wka haji dewata sang lumah ring air wka
sajalu stri, prasiddha kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten
molih tekang karaman maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi
manambah i paduka haji, umajaraken sakramanya nguni mwang
pagehnyanugraha haji dewata, ... (Ib.5-IÏa.2)” (Ginarsa, 1961 : 4).
Artinya :
”... kini ingatlah para tetua desa Songan
Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa
putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka
beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta
kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten
(Bali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada
betara (di Air Wka) maka mereka bersama-sama
menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang mereka
laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca :
titah) raja yang telah almarhum,...”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis
keturunan dari pihak ayah, Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan
tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak
digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat
unsur dharmawangsa, yang sebagaimana telah
dikatakan, mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur.
Keadaan demikian dapat dipahami, jika diingat bahwa ibu suri Marakata,
yakni Gunariyadharmapatni adalah putri Jawa Timur. Bukan mustahil
Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan Dharmawangsa Teguh, atau
paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma
yang terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai
faktor penunjang pendapat di atas.
Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur
warmadewa, lebih jauh dapat dikemukakan bahwa
hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari
dirinya termasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra Udayana,
tentu baginda menyadari kedudukannya dalam dinasti itu. Penggunaan unsur
dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya
masalah pilihan belaka.
Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak
Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai
raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui
secara pasti, kecuali hendak diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan
nama kecil tokoh itu. Secara harfiah anak wungsu
berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan urutan kelahiran belaka.
Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan
Gunapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam
sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti
Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terbaca bagian yang
berbunyi ”... ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari
lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka, ...”(Stein
Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”... paduka raja anak bungsu
baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan
dan raja yang dicandikan di Banu Wka, ...”
Dikaitkan dengan keterangan
dalam prasasti Pucangan yang menyatakan bahwa
Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang, yakni Airlangga,
Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlangga dan Anak
Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.
Raja Anak Wungsu memerintah
Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali
Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun. Ada 31 buah
prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai
prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas
di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang
lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan
tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa
pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak
dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan
bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan itu ditunjang pula
oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya
menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan
pemerintahan.
Dalam
beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh
belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji)
dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang
diperintah atau dilindunginya (nityasa
kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau
nityasa kumingking ... subhiksa nikang rat rinaksanira).
Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan
ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka
haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma
(kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam
urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa
memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci
keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang
sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk.,
1990 : 301-302). Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin
bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya,
yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat
perhatian yang wajar.
Telah
dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan
Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per
satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang
yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk menghindari
hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu
berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang
melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam
alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut.
- Adanya permohonan
penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula
yang berupa ripta diubah
menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti).
Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman)
Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah,
para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan
dan Landungan, warga desa yang
bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang)
di Buyan, Anggas, serta Taryungan,
dan wakil-wakil penduduk desa Bila.
- Adanya permohonan membuka lahan baru untuk
dijadikan perdikan (sima). Permohonan
semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan,
tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas,
dan wakil-wakil desa Bwah.
- Adanya pejabat memungut rwyahaji
melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini
diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan.
Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka)
dan para pengawas (caksu paracaksu)
melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang
dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar
masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu.
- Adanya permohonan agar ketetapan yang
tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail
penduduk desa Bharu (banwa
Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya
kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.
- Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi
prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa
(karaman) Sukhapura
telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks
percandian (sanghyang dharma), tetapi belum
dianugrahi prasasti. Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka
memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam
sebuah prasasti.
- Adanya
permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah
untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu.
Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran
karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi
keperluan-keperluan tersebut di atas.
Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja
Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang
seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan
mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial
budaya, dan keagamaan.
Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu
yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja
ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasasti
Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti
Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis
(nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a :
26 ; 1965 : 33). Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali
Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja
setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan
di depan.
Aktivitas
pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis
dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan
lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap
menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana
sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari
ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma
(kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran
dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat
rakyat berlindung (saranasraya ring praja),
dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali
(pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk
dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A
dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi
sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan
prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma
i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data
sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah Sri Walaprabhu,
yang naik takhta kerajaan Bali adalah Paduka Sri Maharaja Sri
Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi. Gelar ini
terbaca dalam prasasti-prasasti : Pengotan B I (1010
Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka).
Goris, dalam membahas
gelar yang cukup panjang itu, mengemukakan hal-hal berikut.
- Indukirana = cahaya bulan
purnama
- Guna-dharmma = turunan
dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
- Hendak mengaku Wijaya = turunan raja
Palembang (Sri Wijaya), dan
- Hendak
mengaku Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 :
10).
Tampaknya,
Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur gelar itu secara implisit
mengandung muatan politis, khususnya yang dikemukakan dalam tiga butir
terakhir. Konsep dasar jalan pikiran Goris kiranya dapat diterima,
tetapi secara operasional menghubungkan unsur wijaya
dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam
butir ketiga, sepantasnya mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua
hal akan diajukan sebagai bahan pertimbangan, yang serta merta
menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama, sampai kini belum
terdapat bukti jelas mengenai hubungan politik kerajaan Bali Kuno dengan
Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti telah diketahui, unsur Sriwijaya
digunakan pula dalam gelar Ratu Sri Wijaya Mahadewi. Stein Callenfels,
yang menghubungkan ratu ini dengan kerajaan Sriwijaya, telah dibantah
oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais mengidentifikasikan bahwa
ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 : 85-86). Sejalan dengan
pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan pendapatnya yang menjurus
kepada penyamaan dengan putri Sindok serta ditunjang isi butir kedua
dan keempat kutipan di depan, maka Sakalendukirana pun tidak perlu
dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya tetapi dengan keluarga besar
dinasti Isana di Jawa Timur.
Salah satu kebijakan Ratu Sakalendukirana ialah
memberikan prasasti kepada pejabat Nayakanjalan.
Prasasti itu diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
tugas dan kewajiban oleh penduduk di bawah kewenangan pejabat tersebut.
Sejumlah rincian ketetapan tercantum di dalam prasasti itu, misalnya
mengenai drwyahaji untuk samgat
surih, upacara yang dilaksanakan pada waktu bulan mati (pjah
lek), dan iuran untuk keperluan upacara besar (mahabanten).
Ratu Sakalendukirana diganti
oleh Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa. Baginda berkuasa tahun 1037 :
1041 Saka (1115-1119) dengan mengeluarkan prasasti-prasasti
Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B
(1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan,
Pura Endek III.24 Sebagian di antara
prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.
Berdasarkan permohonan
wakil-wakil pamong dharma (sejenis bangunan
suci) di Air Tabar dapat diketahui bahwa raja
memberikan izin kepada mereka memperbaharui (umanari)
prasastinya. Izin itu diberikan karena prasasti semula yang tertulis
pada daun rontal (ripta) telah rusak dan tidak
terbaca lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca).
Selanjutnya, raja menekankan supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh
segenap penduduk sebagaimana mestinya. Semua hal itu disebutkan dalam prasasti
Gobleg, Pura Desa III.
Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti
Angsari B, raja Suradhipa memberikan prasasti kepada dharma
di Sukhamerta yang termasuk wilayah desa Latengan.
Segala ketetapan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh
penyelenggara pertapaan di kompleks dharma di Sukhamerta.
Pertapaan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra
Warmadewa.
Setelah
berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di
Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya
dalam gelarnya, yaitu (1) Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun
1055-1072 Saka (1133-1150), (2) Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun
1077 Saka (1155), (3) Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun
1099-1103 Saka (1178-1181), dan (4) Paduka Sri Maharaja Haji
Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya
Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka
(1200). Birokrasi pemerintahan keempat raja inilah yang akan dibahas
dalam karya tulis ini. Berdasarkan hal itu maka uraian mengenai
aktivitas atau kebijakan yang dilaksanakan oleh raja-raja tersebut tidak
diperpanjang pada bagian ini.
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak
diketahui secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam
sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta
digunakannya unsur jaya dalam gelar
masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang
satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Kalau
tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan
kekeluargaan yang sangat dekat.
Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan
keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja
Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara
(1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara
(1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di
kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais,
1952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306). Hal yang menarik
perhatian pula, sebagaimana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya
digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua
nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya
bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan
kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha.
Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan
kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup
mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom,
1956 :154-155 ; Warna dkk., 1990 : 2-3).
Sejak berakhirnya kekuasaan
Ekajayalancana sampai dengan akhir masa Bali Kuno, masih terjadi lima
kali pergantian raja. Secara berturut-turut dinobatkan Sri Wirama (1126
Saka), Adidewalancana (1182 Saka), Sri Mahaguru (1246-1247 Saka),
Walajayakrrttaningrat (1250 Saka), dan Sri Astasura Ratnabhumibanten
(1259-1265 Saka).
Sri
Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti
Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels, 1926 :
56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tiga tokoh historis
sebagai berikut.
- Bhatara Guru Sri Adikuntitekata, yakni
permaisuri raja yang telah almarhum. Goris juga menyebut tokoh ini
dengan Bhatara Guru I (1965 : 43).
- Bhatara
Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana,
putra (wija) Sri
Adikuntiketana.
- Bhatara Sri
Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita)
Sri Dhanadhirajalancana.
Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga,
khususnya kata rajawanita, yang digunakan
untuk menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja yang sesungguhnya
adalah Bhatara Parameswara Sri Wirama. Kendati demikian, yang bertitah
langsung kepada penduduk adalah Sri Adikuntiketana (Stein Callenfels,
1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli
(karaman i bangli) sewilayah desanya, agar mereka tidak
mengungsi lagi ke desa lain. Sebaliknya, mereka
diperintahkan supaya kembali ke desanya serta menyelenggarakan asrama (mandala)
Lokasarana yang sempat sepi dan tidak terurus. Dalam
prasasti itu dicantumkan pula aturan tentang hak dan kewajiban yang
harus dipatuhi oleh penduduk Bangli.
Antara Raja Sri Wirama (1126
Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang
Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong (power
vacuum) selama tidak kurang dari 56 tahun. Belum terdapat
petunjuk yang jelas mengapa hal itu terjadi.
Tidak banyak dapat
dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan sebuah
prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka),
yang dianugrahkan kepada wakil-wakil desa Bulihan (karaman i
bulihan) (Goris, 1954a : 41-42). Selain itu beliau juga
mengeluarkan prasasti Pangsan yang dianugrahkan kepada pariman
i nungnung.
Setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana,
terdapat lagi masa tanpa raja selama
lebih kurang 64 tahun, yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324). Pada
periode itu terbit hanya dua buah prasasti, yaitu prasasti
Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D
(1222 Saka), atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh
itu berkedudukan sebagai rajapatih, bukan
sebagai raja (Goris, 1948 : 11 ; 1954a : 42). Keadaan ini kemungkinan
besar ada kaitannya dengan keterangan yang dapat disimak 32 dari isi
pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama. Di sana
dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari
Singhasari) berhasil menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali
(Pigeaud, 1960a : 32 ; 1960b : 48 ; Slametmulyana, 1979, 294). Dalam
sumber itu tidak disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawan.
Dengan alasan yang kurang jelas, Ginarsa menduga bahwa raja itu adalah
Adidewalancana (1968 : 27). Dugaan itu akan menjadi benar
apabila raja itu memerintah paling sedikit selama 24 tahun setelah
menerbitkan prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka
(1260).
Kedudukan
Kbo Parud sebagai rajapatih boleh jadi
berlangsug sampai setelah Krtanagara dikalahkan oleh Raja Jayakatwang
dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa-masa awal kerajaan
Majapahit. Kedudukannya itu tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru
II (Bhatara Sri Mahaguru) dinobatkan sebagai raja di Bali pada tahun
1256 Saka (1324), atau beberapa tahun sebelum penobatan itu. Hal ini
sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di bawah pengawasan
kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.
Identifikasi Raja Bhatara
Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru sesungguhnya masih mengandung
permasalahan. Ada tiga buah prasasti dikeluarkan oleh raja itu, tetapi
memuat gelarnya secara tidak konsisten. Dalam prasasti
Srokadan (1246 Saka) baginda disebut Paduka
Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira),
yakni Paduka Aji (baca : Haji) Sri Tarunajaya. Dalam prasasti
Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka Bhatara
Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti
Tumbu (1247 Saka) disebut Paduka Sri Maharaja, Sri
Bhatara Mahaguru, Dharmmotungga Warmadewa (baca : Paduka Sri Maharaja
Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa) (Goris, 1965 : 45).
Bhatara Guru II rupanya
mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena
pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti
Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah
di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. Raja ini
memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar
Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara
(baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”,
di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959
: 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara
Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat
disepakati bahwa kata tarunajaya pada
hakikatnya bermakna sama dengan walajaya.
Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan
tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan
dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung.
Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk
sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan
sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru).
Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan
Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan
suami-istri.
Atas
dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan
bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat
dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada
masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti
Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa
Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti
kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung).
Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan
oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring
Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu
disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat
dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten
(baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar
ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang
berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99).
Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan
pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh
penduduk di wilayah pertapaan Langgaran.
Batas-batas wilayah pertapaan dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang
menyaksikan penganugerahan prasasti itu disebutkan pula di
dalamnya. Pada bagian akhir prasasti terdapat sumpah kutukan (sapatha)
yang pada intinya mengharapkan agar orang-orang yang melanggar
ketetapan dalam prasasti itu mendapat mala petaka setimpal.
Dapat ditambahkan bahwa di
Pura Tegeh Koripan (di puncak Gunung Penulisan) tersimpan sebuah arca
yang bagian belakang arca itu terdapat prasasti yang terdiri atas
sembilan baris tulisan dan keadaannya telah sangat aus. Pada baris ke
delapan terdapat bagian yang berbunyi ”...t (asu)
raratnabumi...” (Stutterheim, 1929 : 79). Belakangan,
Damais membaca bagian itu sebagai berbunyi ”(--)—stasura
ratnabumi banta,...”(1955 : 129) dan Goris membaca astasura-ratna
bumi-banten (1954a : 44). Di atas prasasti terdapat candra
sangkala berupa empat gambar, yakni paling depan tidak
jelas karena sudah pecah, berikutnya gambar mata (dengan nilai 2),
puluhannya parasu (kapak) yang bernilai 5, dan
terakhir tidak terang, mungkin gunung (bernilai 7) atau laut (bernilai
4). Berdasarkan data itu, maka angka tahun prasasti tersebut mungkin
1254 atau 1257 Saka (Stutterheim, 1929 : 79). Di pihak lain,
menurut perhitungan yang diterapkannya, Damais berpendapat bahwa
prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1439) (1955 : 129-130). Jika arca
tempat prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1430) (1955 : 129-130).
Jika arca tempat prasasti itu ditulis adalah arca perwujudan Astasura
Ratnabhumibanten, yang dibuat sekitar upacara sraddha-nya,
maka pendapat Damais lebih beralasan.
Enam tahun setelah Astasura Ratnabhumibanten
mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Saka),
yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang
dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil
menaklukkan Bali. Goris menyatakan bahwa dengan takluknya Bali kepada
Majapahit maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno yang merdeka (1965 : 47).
Kontak perang antara Bali
dan Majapahit agaknya didahului dengan suasana tidak harmonis. Betapa
tidak senangnya pihak Majapahit terhadap raja Bali dapat diketahui dari
hasil goresan pena Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakrtagama.
Pupuh 49 bait 4 kitab itu menggambarkan sebagai berikut :
”muwah rin sakabdesu masaksi nabhbhi,
Ikan bali nathanya dussila niccha
Dinon in bala bhrasta sakweh nasa
Ars
salwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud,
1960a : 36).
Artinya :
”Selanjutnya pada tahun Saka
panah-musim-mata-pusat (1265 Saka), kepada raja Bali yang rendah budi
dan hina dina dikirimlah tentara untuk membasmi, hancurlah semuanya,
ketakutan semua penjahat (lalu) lari menjauh (cf.
Slametmulyana, 1979 : 297 ; Pigeaud, 1960c : 54).
SUMBER : www.purbakalabali.com
|
1 comments:
terimakasih yang telah memposting artikel ini karena sangat bermanfaat bagi generasi yang akan datang dan klo bisa dilanjutkan lagi sejarahnya
Post a Comment