Ekspedisi Gajah Mada Ke Bali
Setelah pemerintahan raja Sri Mahaguru tahun 1324-1328 M. Maka pemerintahan dipegang oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang disebut dalam prasasti Patapan Langgahan tahun1337 M. Selain itu ada pula sebuah patung yang disimpan di Pura Tegeh Koripan termasuk Desa Kintamani. Pada bagian belakang patung itu ada tulisan yang sangat rusak keadaannya.
Baginda mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan Krian Girikmana tinggal di Desa Loring Giri (Buleleng), Krian Ambiak tinggal di desa Jimbaran, Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan. Sedangkan Krian Buahan tinggal di desa Batur, Krian Tunjung Biru di desa Tianyar, Krian Kopang tinggal di desa Seraya dan Walungsari tinggal di desa Taro.
Sebelum Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali maka terlebih dahulu ia berminat menyingkirkan Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti di Bali. Jalan yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu.
Amangkubhumi Pasanggrigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya menentang Majapahit. Ketika diadakan rapat di Bedahulu membicarakan berita kematian Kebo Iwa seluruh hadirin sepakat mempertahankan Bali dan tidak mau tunduk kepada Majapahit. Setelah itu Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan.
Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan
Setelah jatuhnya kerajaan Bedahulu tahun 1334 maka terjadilah kekosongan pimpinan di daerah Bali dan sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali.
Satu-satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di Bali.
Terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan mohon supaya diadakan wakil raja di Bali yang mampu meredkan ketegangan di Bali.
Untuk lebih jelasnya asal-usul dari Sri Kresna Kepakisan maka di sini akan dijelaskan silsilahnya sebagai berikut: diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.
Sri Kresna Kepakisan Diangkat menjadi raja di Bali
pada tahun Caka 1274 (=yogan muni rwan ring bhuwana) atau tahun 1352 Masehi. Namanya sering pula disebut: Dalem Wawu Rawuh. Dalem Tegal Besung. Pusat Kerajaan terpilih Desa Samprangan. Karena ketika ekspedisi Gajah Mada desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta mengatur strategi untuk menyerang Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Menurut sumber tradisional di Bali diceritakan Airlangga seorang putra Bali keturunan Warmadewa yang diangkat menjadi menantu oleh Raja Dharmawangsa di kerajaan Daha di Jawa Timur. Airlangga mempunyai tiga orang putra yaitu seorang putri dan dua orang laki-laki, masing-masing bernama Sri Jayabaya dan Sri Jayasabha. Sedangkan Sri Jayasabha menurunkan Siarya Kadiri dan Sri Arya Kadiri berputra Sirarya Kapakisan yang menyertai kepergian Dalem ke Bali.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali.
Dalem Agra Samprangan
Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku maka setelah Dalem Ktut Kresna Kepakisan wafat, maka beliau digantikan oleh putranya yang sulung yaitu: Dalem Agra Samprangan. Namun Baginda tidak sukses dalam mengendalikan roda pemerintahan karana wataknya yang lamban dan gemar bersolek sehingga diberikan julukan Dalem Ile. Akhirnya baginda kurang berwibawa di mata masyarakat.
Pada masa pemerintahan Dalem Agra Samprangan, para Arya pejabat-pejabat mentri terdahulu kebanyakan telah lanjut usia, sehingga untuk menjabat kedudukan sebagai mentri digantikan oleh para putra Arya itu masing-masing.
Para mentri semakin cemas akan kehancuran yang mengancam keutuhan kerajaan Bali karena gejala perpecahan semakin menonjol,. Akhirnya Kyai Klapodnyana (Kyai Kubaon Tubuh) bendesa Gelgel putra pertama Arya Kutawaringin, dengan tegas mengambil keputusan untuk mencari I Dewa Ketut Ngulesir, hendak dinobatkan menjadi raja, dengan penuh tanggung jawab dan segala resiko yang ditimbulkan. Sebab I Dewa Tegal Besung masih kanak-kanak, belum pantas dinobatkan sebagai kepala pemerintahan.
Setelah mengadakan musyawarah para Arya dan berikrar yang tempatnya di pura Dalem Tugu (Gelgel) dan setelah mencapai kata sepakat, rombongan yang dipimpin sendiri oleh Kyai Klapodnyana berangkat mencari I Dewa Ktut Ngulesir. Kemudian rombongan tiba di desa Pandak (Tabanan), di mana I Dewa Ketut Ngulesir didapati sedang berada di tempat judian. Tanpa ragu-ragu dengan sangat sopan dan hormat, serta dilandasi dengan ketulusan hati yang mendalam, memohon perkenan I Dewa Ketut Ngulesir untuk kembali ke Istana menduduki singgasana kerajaan, supaya kerajaan Bali terhindar dari malapetaka kehancuran, sebab tidak ada pilihan lain lagi.
Dalem Agra Samprangan setelah menerima hal itu, tidak menghiraukan kedudukannya I Dewa Ktut Ngulesir di Gelgel, demikian pula sebaliknya Dalem Ktut tidak durhaka atas kekuasaan Dalem Samprangan. Jadi seolah-olah dua kerajaan kembar yang saling menghormati, sampai saat wafatnya Dalem Agra Samprangan, yang berarti berakhirnya kerajaan Samprangan dan menjadi besarnya kerajaan Gelgel.
Aspek Sosial Budaya
a. Struktur Pemerintahan
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.
b. Sistem Kepemimpinan
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra.
Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha.
c. Kehidupan beragama
Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha.
Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
d. Bidang Kesenian dan Kesusastraan
Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parbwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya.
Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
Sumber: network54.com
0 comments:
Post a Comment