Tuesday, December 7, 2010

SEJARAH BALI KUNO (3)

KEHIDUPAN BERAGAMA

Pada abad-abad permulaan masehi Indonesia dikenal tidak hanya dalam kesusastraan India saja, tetapi juga dikenal dalam kesusastraan Yunani, Latin, Arab dan juga didalam tulisan-tulisan Tiongkok. Ptolemy seorang Yunani menyebut Indonesia dengan Chryse-Cheso-resos yaitu salinan dari kata suwarna dwipa kedalam bahasa Yunani.

Kedatangan kebudayaan Hindu di Indonesia, tidak membawa pertentangan yang berarti berbeda dengan kedatangan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa yang menekankan kepada teknologi. Sebabnya karena kebudayaan spiritual diantara kedua bangsa ini memiliki dasar-dasar yang sama. Tetapi yang sama ini mengambil bentuk kadang-kadang diluarnya kelihatan berbeda, didalamnya menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Faktor lainnya yang menunjang perkembangan kebudayaan ini di Indonesia karena kedua bangsa ini mempunyai persamaan ras yaitu Austronesia yang juga memberi dasar pada perkembangan kebudayaan di antara kedua bangsa itu.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

Untuk mempelajari secara mendalam pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu di Bali, pengetahuan mengenai perkembangan Hindu di Indonesia pada umumnya, sangat penting. Prasasti batu atau saila prasasti ini dapat dikatakan memberikan sumbangan yang penting disamping prasasti-prasasti lainnya, dalam mempelajari perkembangan dan pertumbuhan agama Hindu di Indonesia. Pendirian sebuah lingga secara khusus oleh Sanjaya dapat dikatakan sebagai satu proklamasi munculnya seorang tokoh penganut Siwa yaitu : Raja Sanjaya, di Jawa Tengah.

Dalam perkembangannya, ajaran Siwa dengan konsepsi Tri Murti ini, berkembangan bersama-sama dengan Budhisme Mahayana. Menurut pendapat dikalangan para sarjana yang pertama menyebarkan ajaran ini ke Indonesia ialah raja Gunawarman yaitu putra raja Kasmir yang datang ke Indonesia sekitar abad 6 dan menyebarkan ajaran sarvadanikaya dari golongan Hinayana. Entah apa sebabnya golongan ini rupa-rupanya sedikit mendapat simpati rakyat Indonesia. Dikatakan demikian karena sekitar abad ketujuh di Indonesia lalu muncul Budha Mahayana.

Munculnya piagam Kalasan yang ditulis dengan huruf pre-na-gari dan berbahasa Sansekerta di Jawa Tengah pada akhir abad kedelapan itu, dapat dianggap sebagai titik awal dalam mempelajari perkembangan Budhisme di Indonesia. Menurut pendapat Goris (1948) Budhisme Jawa Tengah inilah yang kemudian banyak pindah ke pulau Bali dengan membawa stupika-stupika tanah liat di mana didalamnya terdapat mantra-mantra Budha. Pendapat ini pada mulanya mudah dapat diterima, karena perkembangan Budhisme ke Jawa Timur sudah terlambat sebab didahului oleh penyebaran agama Hindu sekta Siwa. Alasan yang dipergunakan oleh Goris untuk menunjang pendapat mereka ialah isi mantra-mantra Budha yang terdapat pada cap-cap tanah liat yang diletakkan di dalam stupika-stupika itu persis sama dengan isi mantra Budhis diatas pintu bagian timur candi Kalasan. Karena itu Goris lalu mengatakan bahwa perkembangan Budhisme di Bali terjadi sekitar abad kedelapan. Jenis-jenis mantra Budhis ( elay tablet) semacam ini ditemukan di desa Pejeng, Tatiapi dan Blahbatuh dan sekarang banyak di simpan di Museum Bali di Denpasar.

Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, ajaran Siwa Buddha ini rupa-rupanya lebih menonjolkan paham Siwa, walaupun kedua ajaran itu mempunyai pola pikir yang pararel terutama dalam mengajarkan ajaran Tantrayana. Dikatakan demikian sebab Tantrayana pada dasarnya bersumber dari ajaran Siwa dan pernah menempati kedudukan yang amat penting dalam agama Hindu.

Salah satu kitab Hindu yang penting ialah kitab Siwa Sasana untuk menyebut salah satu contoh. Isinya memuat garis-garis besar mengenai Sasana atau peraturan-peraturan yang menjadi panutan bagi agama Hindu. Menurut kitab ini, yang diharapkan ditunjukkan kepada peraturan Siwa Sasana ini adalah termasuk kelompok acara Siwapaksa :

1. Siwasidhanta
2. Wesnawa (Waisnawa)
3. Pasupata
4. Lepaka
5. Canaka
6. Ratnahara
7. Sambhu

Penelitian Goris (1926, 101 -105; 1931 : 37-54) mengenai jumlah dan jenis kelompok-kelompok ini, menunjukkan perbedaan dibanding dengan apa yang disebutkan dalam lontar Siwa sasana diatas. Menurut Goris, sekte-sekte (paksa) yang terdapat di Bali ialah :

1. Siwa Siddhanta
2. Pasupata
3. Bhairawa
4. Wesnawa
5. Boddha atau Sogata
6. Brahmana
7. Rsi
8. Sora atau penyembah-penyembah Surya
9. Ganapatya atau penyembah-penyembah Ganesa.

PENINGGALAN DAN BANGUNAN KEAGAMAAN

Di Bali banyak ditemukan pura. Sebelum gempa bumi tahun 1917 tercatat jumlah pura sebanyak 10.000 buah. Menurut karakternya, pura-pura itu dapat dikelompokkan menjadi :

PURA KELUARGA

Pura ini didirikan oleh sekelompok keluarga tertentu yang mempunyai hubungan darah sama (genealogis). Pada tiap-tiap rumah tangga terdapat pura keluarga yang disebut Sanggah atau Pemerajan. Bila keluarga itu bertambah besar dan meluas kemudian mereka mendirikan pura keluarga yang disebut Dadya, Paibon atau Panti. Sedangkan untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan satu clan atau satu gotra dibuatkanlah sebuah pura yang disebut pura Kawitan. Yang disembah di pura keluarga ialah Tuhan Yang Maha Esa dan Dewapitara (ancestor).

PURA DESA

Pura ini terdapat pada masing-masing desa adat. Tiap-tiap desa adat di daerah Bali terdapat pura Puseh, Pura Desa, atau disebut Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ketiga buah pura itu disebut Kahyangan Tiga. Pada Pura Kahyangan Tiga ini yang disembah ialah Tuhan dalam wujud Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.

PURA BERSIFAT UMUM

Yang dimaksud dengan pura yang bersifat umum ialah pura-pura yang disungsung oleh jagad dan merupakan tempat penyembahan inti bagi umat Hindu. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Bali, khusunya sesudah zaman majapahit, rupa-rupanya masing-masing Kerajaan di daerah Bali membuat pura Sad Kahyangannya masing-masing meskipun masih menganggap Sad Kahyangan Jagad, tetap merupakan pura inti. Pura ini didirikan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kepentingan sama. Misalnya untuk kepentingan bersama dalam bidang pengairan, mereka mendirikan pura di sawah yang disebut pura subak atau Ulun Carik, Ulun Danu.
Pengelompokan pura diatas lebih mudah dipahami sejak zaman kerajaan Samplangan, Gelgel dan Klungkung atau setidak-tidaknya pada masa Bali Pertengahan abad 14-19. Sebaliknya pada masaBali kuna abad 8-14 keadaannya masih gelap.

Hal ini disebabkan antara lain :

1. Bahan-bahan bangunan suci itu dibuat dari bahan yang tidak tahan panas dan dingin seperti kayu, bambu dll. Sehingga hanya mampu bertahan dalam beberapa abad saja dan selanjutnya musnah dimakan waktu.

2. Keadaan geografis pulau Bali yang cukup labil sehingga sering terjadi gempa bumi seperti pernah terjadi tahun 1917.

3. Daerah pegunungan terletak di tengah-tengah pulau Bali, yang secara tidak langsung membelah pulau Bali menjadi bagian utara dan bagian selatan. Keadaan geografis ini secara kosmos mempunyai arti penting, dimana kaja (utara) menurut Bali utara sama dengan kelod (selatan) menurut Bali selatan sedangkan kaja (utara) menurut Bali selatan sama dengan delod (selatan) menurut Bali utara.

Dari pengelompokan pura yang disebut Kahyangan tiga (pura puseh, Pura Desa/Bale Agung dan Pura Dalem), mengingatkan kepada adanya candi sebagai bangunan pemujaan leluhur (uncestor) dan candi Penataran di Jawa Timur sebagai tempat melakukan upacara bersama, antara keluarga dan kerabat Sang Raja dengan rakyat. Yang disembah pada kedua macam bangunan suci itu ialah roh suci leluhur yang telah disucikan dan disebutb Bhatara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Pada waktu pemerintahan raja Anak Wungsu sering disebut tempat-tempat suci yang penting, antara lain ialah:

Bhatara ring Antakunjarapada

Nama ini tersebut didalam prasasti Dawan 1053 M yang menyinggung tentang karaman (desa) Lutungan. Mengenai nama bangunan suci Antakunjarapada Dr. Goris (1957 : 29) berpendapat bahwa yang dimaksud Gua Gajah karena kunjara berarti gajah.

Bhatara Mandul di Sukhawana

Disebut dalam prasasti Dausa 1061 M. Sekarang di Pura Tegeh Koripan (gunung Penulisan) masih terdapat sebuah arca batu bertulis huruf Kadiri kwadrat yang mirip dengan tulisan di komplek candi Gunung Kawi. Tulisan ini terdapat di bagian belakang arca. Pengamatan dengan seksama menunjukkan bahwa tulisan itu harus di baca Bhatari Mandul bukan Bhatara mandul. Dengan demikian timbul pertanyaan dimana arca yang menggambarkan suaminya Bhatara Mandul. Ataukah yang dimaksud dengan Bhatara didalam prasasti seharusnya dibaca Bhatari mandul yang masih ada hingga sekarang? Mengenai desa Sukhawana sampai sekarang masih tetap bernama demikian dan terletak tepat di bawah gunung Panulisan.

Bhatara Bukit Humintang

Seperti halnya dengan Bhatara Mandul nama Bhatara Bukit Humintang ini dapat kita jumpai di dalam prasasti Dausa tersebut diatas. Lokasi bangunannya belum jelas diketahui. Mungkin di sekitar Dausa dan Sukhawana.

Bhatara ing Air Kanakantaralaya

Disebut di dalam prasasti Bwahan 1077 M. Lokasinya belum jelas diketahui sebab desa yang bernama Bwah atau Bwahan terdapat di kabupaten Bangli, diselatan Danau Batur, di kabupaten Gianyar dan di kabupaten Tabanan.

Candi Gunung Kawi

Merupakan kompleks candi padas terletak di pinggir sungai Pakerisan atau disebelah selatan Tampaksiring. Pada masa pemerintahan raja Marakata kompleks itu dinamakan Sanghyang Katyagan ing pakerisan Mengaran Amarawati sebagai disebut dalam prasasti Tengkulak.

Selain tempat-tempat yang masih dapat diketahui dibawah ini akan disebutkan nama-nama tempat suci yang sering dihubungkan dengan tempat pemakaman seorang raja atau yang diduga tempat pemakaman baginda setelah diupacarakan, misalnya :

1. Raja Ugrasena, sang lumah ri Banu-madatu.
2. Gunapriyadharmmapatni (Mahendradatta) bhatari lumah i Burwan.
3. Raja Udayana, bhatara lumah i Banu-wka
4. Marakata, bhatara lumah ing Camara
5. Anak Wungsu, haji lumah ing Jalu
6. Jayapangus, bhatara lumah i Dharmahanar.
Source : Kliping Media Hindu

0 comments:

Post a Comment