Tuesday, December 7, 2010

SEJARAH BALI KUNO (2)

SISTEM PEMERINTAHAN 


Dalam perkembangan sejarah selanjutnya maka untuk menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi pada beberapa wanua mereka mengangkat seorang penguasa tertinggi yang telah mampu menunjukkan kekuasaan dan wewenangnya. Pengangkatan itu memerlukan suatu upacara penobatan dan dilakukan oleh pemimpin agama. setelah menerima gelar abhiseka, selanjutnya mereka itu memakai gelar ratu, sang ratu, raja, Maharaja, Sri maharaja dan lain-lainnya.
 
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

Apabila ditinjau dari cara pemerintahannya, hubungan antara penguasa dengan rakyat nampaknya berlangsung secara tidak resmi. Segala sesuatunya dijalankan atas dasar musyawarah mufakat berdasarkan adat yang berlaku. Disamping itu mereka belum terbiasa dengan pembagian kerja yang tegas karena itu sering seorang penguasa sekaligus mempunyai beberapa kedudukan dan peranan, yang sama sekali sulit untuk dipisah-pisahkan atau paling tidak, sulit untuk dibeda-bedakan. 

Menurut Pitirim A. Sorokin sistem berlapis memang merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Mengenai sistem pelapisan di masyarakat itu, bukan hal yang baru. Bahkan pada zaman kuno dahulu, seorang ahli filsafat Yunani yang kenamaan yaitu Aristoteles juga pernah mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap masyarakat atau negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat dan mereka berada ditengah-tengahnya. Ucapan demikian itu setidaknya membuktikan bahwa di zaman dahulu itu dan juga pada zaman-zaman sebelumnya, orang telah mengakui adanya pelapisan di masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. 

Berbicara mengenai sistem pemerintahan atau bagaimana pemerintahan di masa Bali kuno, almarhum Dr. R. Goris pernah mengatakan bahwa dalam beberapa bagian-bagian pemerintahan, umpamanya tata usaha, undang-undang kehakiman, raja-raja disokong oleh suatu badan penasehat pusat. Badan penasehat itu boleh dibandingkan dengan rad kerta yang pernah dikenal di Bali. Akan tetapi di zaman kuno adalah hanya suatu badan penasehat pusat, yang haknya lebih besar dari pada kekuasaan rad kerta yang sekarang. Badan penasehat pusat itu memakai beberapa nama. Dalam prasasti yang kuno tersebut "Panglapuan, Samohanda, Senapati di Panglapuan, Pasamaksa, Palapknan". Mulai dari tahun 1001 M (waktu pemerintahan Udayana dan Gunapriya Dharmapatni) badan itu disebutkan "Pakira-kiran i jro (makabaihan)". Badan itu beranggotakan : 

1. Beberapa Senapati 
2. Beberapa pendeta (pedanda) Siwa dan Buddha (mpungku). Sedangkan Badan penasehat pusat terdiri dari : 1. Beberapa Senapati 2. Beberapa Samgat yang kiranya juga disebut sebagai tanda rakyan; 3. Beberapa pemuka agama Siwa dan Buddha. 

Pemeriksaan terhadap prasasti-prasasti bertipe Yumu pakatahu seperti prasasti Sukawana adalah prasasti Bebetin, prasasti Trunyan, prasasti Gobleg, prasasti pura Kehen, memberikan petunjuk bahwa lembaga Potthagin itu mempunyai fungsi : 

1. Mengadakan hubungan dengan pihak luar dan dalam 
2. Mempunyai fungsi spiritual dan material 
3. Membuat peraturan, memberikan keputusan 
4. Mempunyai fungsi peradilan 
5. Mempunyai fungsi politional. 

Fungsi lembaga Potthagin dan Somahanda seperti di atas kalau dibandingkan dengan fungsi Shahbandar menurut hasil penelitian Purnadi Poerbatjaraka nampaknya tidak jauh berbeda. Dikatakan demikian sebab Shahbandar mempunyai fungsi : 

1. Membentuk peraturan 
2. Mempunyai kekuasaan mengadili 
3. Mempunyai fungsi Administrasi 
4. Mempunyai fungsi Politional. 

KEPEMIMPINAN

Pengamatan atas sumber-sumber sejarah Indonesia Kuna memberi petunjuk bahwa hampir sebagian besar raja-raja pada zaman Bali kuno mengaku dirinya sebagai keturunan Wisnu. Misalnya raja Anak Wungsu mengaku dirinya inkarnasi dewa hari (saksat mira harimurti). Hari sebenarnya adalah nama lain dari dewa Wisnu. Walaupun demikian, ini tidak berarti bahwa pemujaan kepada dewa-dewa Trimurti lainnya terutama Dewa Siwa, dilupakan pada masa itu. Hal ini dapat diketahui karena hampir setiap prasasti yang dikeluarkan oleh sang raja didalamnya terdapat ungkapan yang menyamakan atau mensejajarkan kedudukan baginda dengan Dewa Harimurti, dimana Dewa Hari atau Wisnu pada hakekatnya sama dengan Dharma. 

Dharma menurut pengertiannya mempunyai makna yang sangat luas. Untuk menyebut salah satu contoh, dharma merupakan landasan etis dan norma kehidupan dalam agama Hindu. Dalam filsafat modern, dharma mengandung pengertian yang dekat dengan humanisme. Menurut definisi Dr. R K Mukerjee, dharma dan humanisme merupakan satu sistem yang integral tentang arti manusia di dunia ini dalam rangka mewujudkan cita-citanya baik secara individu maupun kologial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan dharma atau kemanusiaan itu dimaksudkan ialah bagaimana manusia dapat untuk lebih mendekatkan dirinya terhadap alam, baik yang mikro maupun alam makro. 

Ajaran Panca Maha Butha menghendaki agar manusia secara sadar mau berkorban yaitu memberikan sebagian haknya menurut kemampuan dan yang sesuai menurut penerimaan. Kategori penerimaan inilah dalam ajaran itu yang membedakan dalam lima macam yaitu : 1. Dewa yaitu para manifestasi mahluk Tuhan 2. Resi yaitu orang-orang suci termasuk para pendeta sebagai pimpinan agama 3. Pitara yaitu para leluhur termasuk roh mereka yang meninggal. 4. Athiti yaitu mahluk sesama manusia 5. Bhuta yaitu semua mahluk Tuhan yang tingkatnya lebih rendah dari manusia. Yang terpenting dalam hubungannya dengan ajaran kemanusiaan di sini ialah pelaksanaan atithi yadnya yaitu berkurban bagi sesama manusia, disamping berkurban kepada Tuhan dan alam lingkungannya. 

PENGATURAN

Bagaimana seorang pemimpin mengatur jalannya roda pemerintahan, hal ini sekaligus akan mewarnai corak kepemimpinannya. Pada masa pemerintahan raja-raja Bali kuna (abad 8-15) yang bersifat monarchi, pemerintahan diatur menurut buku suci Weda Smrti. Bukti-bukti tentang ini, berasal dari sumber-sumber prasasti yang ditulis pada batu (saila prasasti) maupun perunggu (tambra prasasti). Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Haji Jayapangus dan juga dalam periode-periode selanjutnya, kitab hukum yang sering disebut-sebut ialah kitab Manawasasanadharma, Manawakamandaka, Manawa Kamandaka Sasanadharma. 

HUBUNGAN ANTAR BANGSA

Nekara Pejeng yang oleh masyarakat setempat sering disebut 'bulan' Pejeng adalah sebuah nekara dari zaman perunggu. Nekara-nekara semacam ini telah ditemukan dalam berbagai ragam pada daerah-daerah yang luas sekali, dari Cina, Vietnam Utara (Dongson) sampai di pulau-pulau dekat Irian Jaya. Sebaliknya benda-benda perunggu semacam itu rupa-rupanya tidak pernah ditemukan di Philipina. Di Indonesia, benda-benda perunggu pada zaman prasejarah, ditemukan di Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara khususnya di Bali. Di daerah Nusa Tenggara Timur benda-benda nekara itu ditemukan di Sangean (Sumbawa), Rote, Leti, Selayar, Kei, Alor, Timor dan Sentasi di Irian Jaya (Koentjaraningrat, 1975 : 19). 

Di kota-kota kuna, kota itu biasanya menjadi pusat kerajaan dan istana, pusat kompleks pemujaan atau pusat-pusat perdagangan yang terletak pada persilangan lalu lintas perdagangan sungai, danau atau laut. Di kota semacam ini, kepandaian membuat perunggu biasanya berdampingan dengan perkembangan peradaban yang berdasarkan kepada masyarakat kota. 

Dalam zaman sejarah, peninggalan-peninggalan arkeologis dalam bentuk seni arca dan bangunan kuna di Bali, menunjukkan adanya hubungan dengan pihak luar seperti India, Kamboja, Vietnam, Thailand dan lain-lain. Bahkan menurut pendapat di kalangan para sarjana, seni arca dan seni bangunan kuna di Bali, khususnya dalam periode Hindu Bali (abad 8-10) menunjukkan tanda-tanda hubungan yang bersifat internasional. Artinya langgam seni arca pada masa itu menunjukkan persamaannya dengan langgam seni arca yang berkembang di luar seperti India dengan pusat sekolah seninya : Malanda, Sarnath, Pallawa dan lain-lain. 

Source : Kliping Media Hindu

0 comments:

Post a Comment