Tuesday, December 7, 2010

MASA BALI KUNO (1)

Penyelenggaraan Hidup dalam Masyarakat

 



PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP

Sebagai kelanjutan dari masyarakat zaman prasejarah, masyarakat pada zaman Bali kuna juga hidup dari bercocok tanam dan berburu. Penjelasan ini dapat kita peroleh dari sumber-sumber prasasti yang antara lain menyebut mmal(kebon), sawah, parlak (sawah kering), kebwanatau kabon (kebun), huma/uma (sawah basah), kasuwakan (sistem persubakan). Tanah persawahannya pun telah dirawat dan diolah dengan baik. Dalam prasasti yang tersimpan di desa Tengkulak yang dikeluarkan oleh Raja Marakata misalnya disebutkan sederetan istilah yang berhubungan dengan cara pengolahan atau penanaman padi seperti : amabaki, amaluku, atanem, amantun, ahani, anutu. Amabaki atau ambabaki berarti membuka sebidang tanah untuk tanah persawahan, selanjutnya tanah persawahan itu dibajak (mluku) sehingga dapat ditanami padi. Istilah yang dipergunakan untuk itu ialah atanem. Setelah padinya tumbuh dengan baik, perlu dirawat antara lain dengan menyiangi (amantun) sehingga padi itu tidak kebanyakan air dan dapat tumbuh dengan subur. Selanjutnya dilakukan pemotongan padi dengan cara menuai (ahani) dan menumbuk (anutu).

Jenis-jenis tanaman yang sudah dikenal pada masa lalu sumber-sumber prasasti antara lain menyebutkan : padi, gaag, tirisan atau nyuh (kelapa), hano (enau), kemiri, kapulaga, kasumbha, tals (keladi), pipakan (jahe), bawang merah, bawang putih (kesuna), pucang (pinang), durryyan (durian), jerk (jeruk), hartak (kacang hijau), camalagi (asam), kapas, kapir (kapok randu). Untuk menunjukkan umbi-umbian dan buah-buahan yang bersifat umum (phala bungkah dan phala gantung) dipergunakan istilah mulaphala (umbi-umbian) sarwa phala (buah-buahan). Demikian pula beberapa jenis pepohonan karena menaungi rumah, pondok (kebwan), harus ditebang demi kelestarian lingkungan. Jenis-jenis pepohonan yang sering dianggap menganggu kelestarian lingkungan : pring, hyamyah, buluh, ptung, waringin, bodhi, skar kuning, men atau mundeh.

Sebagai kelanjutan dari masyarakat zaman prasejarah, masyarakat pada masa Bali kuna, rupa-rupanya masih tetap melakukan usaha perburuan. Jenis binatang perburuan yang sering disebut-sebut ialah : culung atau celeng (babi hutan), ayam alas (ayam hutan), besara (bekisar), daker, puruh (puyuh), pancayan, gajah, putir (puteh), manuk (burung), kitiran (perkutut), wuru wuru (merpati) dan lain-lain. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan antara lain dalam rangka memelihara kelestarian hutan dan memelihara cagar alam, pada masa dahulu ada pejabat khusus yang tugasnya berhubungan dengan binatang perburuan, disebut Nayakan Buru, Nayakan Manuk, Tuhanjawa. Pejabat yang disebut terakhir ini mempunyai tugas khusus yaitu mengawasi binatang ternak bersayap.

HUBUNGAN ANTAR GOLONGAN

Sebagai anggota kelompok dan anggota masyarakat mereka mengadakan hubungan sesuai dengan fungsi dan swadarmanya masing-masing. Kelompok pengrajin mengadakan hubungan dengan alat-alat pengrajin, kelompok pertukangan akan mengadakan hubungan dengan alat-alat pertukangan, kelompok petani hidup dengan alat-alat pertanian, demikian seterusnya. Selain mengadakan hubungan dalam bentuk-bentuk usaha swasta sebagai mahluk sosial mereka juga mengadakan hubungan dengan sesamanya walaupun dalam arti yang sangat sederhana. Atau dengan perkataan lain, kita dapat mengatakan bahwa pada masa itu setidak-tidaknya terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan mereka berhubungan.

Pada masa pra Hindu, rupa-rupanya masyarakat hidup dalam suatu ikatan kesatuan yang disebut wanua. Satu wanua dengan luas wilayah tertentu merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan sanat, tuha-tuha, dan talaga. Sanat artinya orang tuha sama seperti tuha-tuha dan talaga. Dalam beberapa prasasti perunggu terdapat beberapa buah kata yang mengandung arti tuha seperti : kiha, kumpi, sanat, tuha-tuha, talaga dan sebagainya. Didalam prasasti Pura Kehen, terdapat kelompok Sarwwa Sanat di dalam prasasti Srokadan, saka 915 terdapat kelompok Sarwwa Talaga. Yang menarik perhatian didalam kelompok ini selalu terdapat tiga jabatan fungsional yaitu : Dinganga, Nayakan Makarun dan Manuratang Adna. Inilah pangkat-pangkat fungsional paling kuna didalam sistem ketatanegaraan Bali kuna.

Berdasarkan pengamatan ada pendapat bahwa yang mengeluarkan prasasti itu ialah suatu lembaga yang disebut lembaga Samohanda. Dapat diketahui bahwa fungsi lembaga Samohada atau Potthagin itu ialah : 1. Membuat peraturan dan memberi keputusan 2. Mengadakan hubungan keluar dan ke dalam. 3. Fungsi spiritual dan material 4. Fungsi peradilan 5. Fungsi politional.

Dalam perkembangannya, timbul persaingan diantara wanua, yang diakibatkan mungkin oleh karena kepentingan daerah perhutanan, pengairan, bangunan suci, ataupun kepentingan-kepentingan lainnya yang melewati atau berada di daerah wanua. Catatan tertulis tertua yang membahas Indonesia, berasal dari abad kedua setelah masehi. Catatan itu terkandung didalam dua buku. Pertama ialah karya seorang Yunani bernama Claudius Ptolemaeus yang tinggal di Alexandria Mesir. Dalam bukunya yang berjudul geografi, ia menunjukkan bahwa orang-orang Romawi dan Yunani pada masa itu biasa menjalankan hubungan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di samudra India. Tetapi menurut catatan itu, perdagangan tersebut hanya boleh dilakukan pada tempat-tempat tertentu saja, yang disebut emperior (bandar) dan prosedur yang diikuti tidak didasarkan atas permintaan penawaran tetapi atas dasar persetujuan politik antara orang-orang asing dan pemimpin-pemimpin setempat.

Didalam buku geografi itu juga dijelaskan bahwa orang-orang Yunani sendiri tidak langsung berlayar atau berkunjung ke Asia Tenggara tetapi hanya sampai di pantai Koromandel (India Tenggara). Di wilayah ini dicatat beberapa nama-nama tempat yang juga merupakan emperior : Kattigara, Tokala, Sabara, Chryse dan lain-lain yang oleh beberapa orang sarjana dianggap terletak di sekitar selat Malaka.

Perlu diketahui bahwa dalam sejarah Bali kuna, tidak semua raja memakai partikel dewa. Sebelum pemerintahan Anak Wungsu belum dijumpai penyebutan bahwa raja adalah inkarnasi (penjelmaan) dari dewa di dalam prasasti. Rupa-rupanya kebiasaan itu baru mulai muncul pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Sistem pemerintahan raja-raja Bali kuna bukan bersifat otoriter, sebagaimana sering dibayangkan orang. Berdasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, pemerintahan theokrasi itu ditata berdasarkan sistem demokrasi paternalistis dan bersifat sosial religious.

PENGATURAN DALAM MASYARAKAT

Dengan datangnya pengaruh India, hukum adat tetap berlanjut sepanjang tidak bertentangan dengan kitab hukum Manusasana, Manawa-sasana-dharma, Manawa Kamandaka, Raja Wacana, khususnya dengan kitab Uttara-widdhi-balawan sebuah kitab sasana yang berasal dari India utara. Yang telah ada sampai sekarang ialah kitab Manu Dharmasastra atau Manawa Dharmasastra, sebuah compendium Hukum Hindu yang diterbitkan oleh Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda. Pada masa ini kesenian dikenakan pajak, karena pada waktu berlangsungnya pertunjukan mereka menerima upah. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa pada masa dahulu dikenal dua macam kesenian yaitu kesenian untuk raja dan kesenian untuk rakyat. Perbedaan jenis kesenian ini juga membawa akibat adanya perbedaan dalam pembayaran pajak.

Source : Media Hindu
 

0 comments:

Post a Comment